SENTANI – Dewan Gereja Papua (DGP) bersama Pusat Studi HAM, Sosial, dan Pastoral Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura (STTWPJ) akan menggelar Festival Literasi dan Resiliensi pada 19–21 November 2025 di Aula Gereja Katolik Paroki Kristus Terang Dunia, Waena, Kota Jayapura.
Pendeta Benny Giay mengatakan festival ini digelar di tengah meningkatnya narasi pemerintah terkait separatisme di Papua, sementara berbagai persoalan mendasar tidak diselesaikan. Ia menyoroti praktik jual beli senjata antara aparat dan TPNPB, belum tertanganinya empat akar masalah Papua yang ditemukan LIPI, serta tidak adanya penyelesaian kasus rasisme 2019. Pengiriman pasukan secara masif juga dinilainya masih berlangsung hingga kini.
“Masalah rasisme tidak diselesaikan, orang Papua dianggap kelas rendahan. LIPI sudah menemukan akar persoalan, tetapi orang Papua tetap disingkirkan,” ujarnya dalam jumpa pers di Kampus STT Walter Post Jayapura, Senin (17/11/2025).
Menurut Benny, pemerintah mengklaim pembangunan sebagai solusi, padahal tidak menjawab akar persoalan. “Agendanya apa? Pemerintah mau tanahnya, bukan manusianya,” tegasnya.
Ia juga menyoroti aksi protes rasisme 2019, ketika warga Papua yang memprotes justru ditangkap, sementara penyebar rasisme tidak diproses. Penempatan pasukan yang masif disebutnya mirip situasi DOM di masa lalu.
Terkait tema resiliensi, Benny mengajak masyarakat Papua bangkit dan mempersiapkan generasi terdidik. “Kalau hancur, bangkit lagi. Tidak harus berperang, tetapi urus anak-anak agar mendapat pendidikan yang baik,” katanya.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi HAM, Sosial, dan Pastoral STTWPJ, Hendrica Henny Ohoitimur, menjelaskan festival ini digelar untuk merespons berbagai persoalan seperti isu HAM, rasisme, kerusakan hutan, pengungsian akibat konflik aparat–TPNPB, serta aktivitas pertambangan yang mengabaikan ekosistem.
“Festival ini menjadi ruang refleksi agar masyarakat mengingat berbagai peristiwa dan membangun kesadaran bersama untuk memperjuangkan penyelesaiannya,” ujarnya.
Festival akan menghadirkan komunitas gereja, akademisi, penulis, pemuda, seniman, hingga pengungsi untuk berdialog. “Kekerasan dan pembunuhan adalah bentuk menyakiti citra Allah pada sesama,” tambahnya.
Sekretaris Pusat Studi STTWPJ, Rutina Labena, mengatakan rangkaian kegiatan berlangsung selama tiga hari, melibatkan penulis, seniman, jurnalis, musisi, aktivis lingkungan, serta keluarga pengungsi dari Maybrat, Puncak, dan Oksibil.
Hari kedua akan diisi diskusi publik, talkshow, pameran literasi, seni, arsip, serta pameran foto pengungsi dari berbagai wilayah konflik. Kegiatan juga bekerja sama dengan Iwatali dan Pusaka Belantara Rakyat untuk membahas isu lingkungan dan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua Selatan. Selain itu, tersedia stand UMKM dari mama-mama pedagang Pos VII serta pameran lukisan.
“Kami juga mengundang Alex Giay, Albert Rumbekwan, jurnalis senior Albert Yomo, serta Markus Haluk sebagai panelis,” kata Rutina.
